Liputan6.com, Rakhine - Dua orang anak Rohingya --namanya disamarkan-- berusaha mendeskripsikan situasi dan kondisi yang terjadi di kampung halamannya, negara bagian Rakhine, melalui gambar buatannya sendiri.
Dalam hasil karya Majuma (12), ia memperlihatkan segerombol pria yang membawa pisau dan parang, serta pepohonan dan rumah-rumah di dekatnya terbakar.
Majuma adalah satu dari 350.000 anak-anak Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar pada tahun lalu, pascakekerasan mengerikan melanda wilayah tersebut. PBB melaporkan, sekitar 700.000 orang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Save the Children --organisasi internasional non-pemerintah yang memperjuangkan hak-hak anak-- menyambangi para bocah Rohingya di kamp pengungsian. Mereka menanyakan kepada anak-anak tersebut tentang pesan yang ingin disampaikan kepada para pemimpin dunia melalui gambar atau lukisan.
Mirisnya, hasil gambar dari anak-anak itu menunjukkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan di Rakhine State, atau perjalanan berliku mereka ke Cox's Bazar, Bangladesh.
Sebuah gambar yang dibuat oleh Mohammed (10) memperlihatkan orang-orang bersenjata menembaki satu keluarga ketika mereka melarikan diri dari desa yang terbakar.
"Di Myanmar, kami tidak diizinkan pergi ke sekolah. Mereka mengusir kami. Mereka membakar rumah kami," kata Mohammed, seperti dikutip dari The Independent, Jumat (24/8/2018).
"Mereka harus berhenti menyiksa kami. Kami tidak ingin menghabiskan seluruh hidup kami sebagai pengungsi. Saya ingin kembali ke Myanmar, jika di sana sudah aman, dan saya ingin kembali sekolah," kata Majuma.
"Jika tidak ada lagi penindasan, kami ingin kembali. Setelah saya jadi orang yang terdidik, saya ingin menjadi guru dan saya ingin mengajar anak-anak."
Penelitian oleh Save the Children menemukan satu dari dua pengungsi anak Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh tidak punya orangtua. Mereka hidup sebatang kara di kamp pengungsian karena ayah dan ibu mereka tewas dalam serangkaian kekerasan brutal.
Lebih dari 6.000 anak-anak Rohingya yang tidak memiliki kerabat dan orangtua tinggal di Cox's Bazar, di mana mereka menderita kekurangan makanan dan berisiko tinggi mengalami eksploitasi serta pelecehan.
Dalam wawancara dengan 139 anak-anak, Save the Children menemukan 70% terpisah dari orangtua mereka lanntaran kekerasan yang pecah di Rakhine State.
Badan amal tersebut menyerukan kepada Inggris untuk ikut andil dalam menuntaskan kejahatan di Myanmar.
"Masa kecil mereka direnggut. Dunia gagal menahan para pelaku serangan biadab ini, termasuk militer Myanmar yang harus bertanggung jawab," kata direktur kebijakan, advokasi dan kampanye kemanusiaan Save the Children, George Graham.
"Inggris mengecam kekejaman yang mengerikan ini, tetapi kata-kata saja tidak akan cukup membawa keadilan bagi anak-anak Rohingya. Sebagai anggota dewan keamanan PBB, Inggris dapat mempengaruhi dunia internasional. Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinannya dengan mendorong kasus ini ke Pengadilan Pidana Internasional."
"Penyelidikan yang kredibel, tidak memihak dan independen terhadap kejahatan-kejahatan ini, dan semua pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan di Rakhine State, merupakan langkah penting untuk memastikan akuntabilitas."
Save the Children telah menyiapkan hampir 100 ruang ramah anak dan ramah wanita di kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar. Dengan ini, mereka diharapkan bisa leluasa bermain dan dapat memulihkan diri dari trauma.
Save the Children juga menyediakan program khusus agar anak-anak Rohingya punya akses ke pendidikan serta layanan kesehatan, gizi dan sanitasi.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Saksikan video pilihan berikut ini:
No comments:
Post a Comment